Kebijakan tersebut tertuang dalam Surat Edaran (SE) Danantara Nomor S-063/DI-BP/VII/2025 yang terbit 30 Juli 2025 dan berlaku untuk tahun buku 2025.
Denny mengatakan kebijakan tersebut memang lahir dari semangat efisiensi dan penguatan tata kelola. Namun, ia menilai aturan itu tidak mempertimbangkan konteks struktur korporasi BUMN Indonesia.
“Pembayaran tantiem dan insentif dalam bentuk apa pun untuk Dewan Komisaris BUMN dan anak usaha dinyatakan tidak diperkenankan mulai tahun buku 2025. Sementara itu, insentif tetap terbuka bagi direksi dengan syarat berbasis kinerja operasional yang tercermin dalam laporan keuangan yang sahih,” tulis Denny JA melalui pesan tertulis, Sabtu (2/8).
Denny JA yang juga menjabat sebagai Komisaris Utama PT Pertamina Hulu Energi (PHE) ini menduga kebijakan tersebut seperti mengambil rujukan sistem tata kelola korporasi di negara-negara penganut One Tier Board seperti Amerika Serikat (AS) dan Inggris, yang berbeda dengan sistem Two Tier Board yang digunakan formal di BUMN Indonesia.
“Ini seperti rumah tangga yang memaksakan model arsitektur asing tanpa melihat bentuk tanah dan adat lokal,” ujar Denny JA.
Denny JA menjelaskan dalam sistem Two Tier Board, Dewan Komisaris BUMN tidak hanya berperan pasif, tetapi aktif dalam komite audit, manajemen risiko, transformasi digital, ESG, hingga pengendalian internal, serta memikul risiko hukum setara dengan direksi. Ia menilai menyamakan peran tersebut dengan non-executive directors pasif dinilai sebagai penyederhanaan yang berbahaya.
Denny menyebut ada beberapa dampak negatif dari kebijakan itu, di antaranya merendahkan fungsi pengawasan dan berpotensi memicu seleksi negatif.
“Tanpa insentif profesional, jabatan komisaris hanya akan menarik dua jenis orang: yang tak lagi dibutuhkan sektor lain, atau yang datang hanya demi jabatan tanpa kontribusi,” kata Denny JA..
Denny JA juga mengingatkan potensi munculnya perlawanan pasif dari Dewan Komisaris akibat kebijakan ini. "Komisaris mungkin tidak berdemonstrasi. Tapi mereka bisa memilih diam, tak bertanya, tak menyela, tak mengoreksi. Dan dalam sistem pengawasan, diam bisa lebih mematikan dari kritik terbuka,” tutur Denny JA.
Kemudian, Denny JA memandang kebijakan ini bisa menimbulkan diskriminasi struktural antara direksi dan komisaris serta merusak kontrak psikologis di dalam organisasi.
“Organisasi dibangun atas kepercayaan bahwa kerja keras akan dihargai. Saat kepercayaan itu dicederai, maka loyalitas pun perlahan memudar. Dan loyalitas yang hilang tak bisa ditebus dengan regulasi,” tulisnya.
Lebih lanjut, Denny JA memberikan sejumlah rekomendasi, seperti mengevaluasi ulang dengan pendekatan 'one-size-fits-all' atau dengan melibatkan akademisi, praktisi, dan pakar hukum tata kelola untuk menyusun solusi yang lebih kontekstual.
Selain itu, rekomendasi penerapan sistem hybrid dengan insentif berbasis Read Entire Article